REAKSI KIMIA
Reaksi kimia adalah suatu proses alam yang selalu menghasilkan antarubahan senyawa kimia.[1] Senyawa ataupun senyawa-senyawa awal yang terlibat dalam reaksi disebut sebagai reaktan. Reaksi kimia biasanya dikarakterisasikan dengan perubahan kimiawi, dan akan menghasilkan satu atau lebih produk yang biasanya memiliki ciri-ciri yang berbeda dari reaktan. Secara klasik, reaksi kimia melibatkan perubahan yang melibatkan pergerakan elektron dalam pembentukan dan pemutusan ikatan kimia, walaupun pada dasarnya konsep umum reaksi kimia juga dapat diterapkan pada transformasi partikel-partikel elementer seperti pada reaksi nuklir.
Reaksi-reaksi kimia yang berbeda digunakan bersama dalam sintesis kimia untuk menghasilkan produk senyawa yang diinginkan. Dalam biokimia, sederet reaksi kimia yang dikatalisis oleh enzim membentuk lintasan metabolisme, di mana sintesis dan dekomposisi yang biasanya tidak mungkin terjadi di dalam sel dilakukan.
Sejarah
Antoine Lavoisier
mengembangkan teori pembakaran sebagai reaksi kimia dengan oksigen
Reaksi kimia seperti pembakaran, fermentasi, dan reduksi dari bijih menjadi
logam sudah diketahui sejak dahulu kala. Teori-teori awal transformasi dari
material-material ini dikembangkan oleh filsuf Yunani Kuno, seperti Teori empat
elemen dari Empedocles yang menyatakan bahwa substansi apapun itu tersusun
dari 4 elemen dasar: api, air, udara, dan bumi. Di abad pertengahan,
transformasi kimia dipelajari oleh para alkemis. Mereka mencoba, misalnya, mengubah timbal menjadi emas, dengan mereaksikan timbal dengan campuran
tembaga-timbal dengan sulfur.[2]
Produksi dari senyawa-senyawa kimia
yang tidak terdapat secara alami di bumi telah lama dicoba oleh para ilmuwan,
seperti sintesis dari asam sulfur dan asam nitrat oleh alkemis Jābir ibn Hayyān. Proses
ini dilakukan dengan cara memanaskan mineral-mineral sulfat dan nitrat, seperti
tembaga sulfat, alum dan kalium nitrat. Pada abad ke-17, Johann Rudolph Glauber memproduksi asam klorida dan natrium
sulfat dengan mereaksikan asam sulfat dengan natrium
klorida. Dengan adanya pengembangan lead chamber
process pada tahun 1746 dan proses Leblanc, sehingga memungkinkan adanya produksi asam sulfat
dan natrium karbonat dalam
jumlah besar, maka reaksi kimia dapat diaplikasikan dalam industri. Teknologi
asam sulfat yang semakin maju akhirnya menghasilkan proses kontak pada tahun 1880-an,[3] dan proses Haber dikembangkan pada tahun 1909–1910 untuk sintesis amonia.[4]
Dari abad ke-16, sejumlah peneliti
seperti Jan Baptist
van Helmont, Robert Boyle dan Isaac Newton mencoba untuk menemukan teori-teori dari
transformasi-transformasi kimia yang sudah dieksperimenkan. Teori plogiston dicetuskan pada tahun 1667 oleh Johann Joachim Becher. Teori itu mempostulatkan adanya elemen seperti api
yang disebut "plogiston", yang terdapat dalam benda-benda yang dapat
terbakar dan dilepaskan selama pembakaran. Teori ini dibuktikan salah pada tahun 1785 oleh Antoine
Lavoisier, yang akhirnya memberikan
penjelasan yang benar tentang pembakaran.[5]
Pada tahun 1808, Joseph Louis Gay-Lussac akhirnya mengetahui bahwa karakteristik gas selalu sama. Berdasarkan hal
ini dan teori atom dari John Dalton, Joseph Proust akhrinya mengembangkan hukum perbandingan tetap yang nantinya menjadi konsep awal dari stoikiometri dan persamaan
reaksi.[6]
Pada bagian kimia organik, telah lama dipercaya bahwa senyawa yang terdapat
pada organisme yang hidup itu terlalu kompleks untuk bisa didapatkan melalui sintesis
kimia. Menurut konsep vitalisme, senyawa organik dilengkapi dengan "kemampuan
vital" sehingga "berbeda" dari material-material inorganik. Tapi
pada akhirnya, konsep ini pun berhasil dipatahkan setelah Friedrich Wöhler berhasil
mensintesis urea pada tahun 1828. Kimiawan lainnya yang memiliki
kontribusi terhadap ilmu kimia organik di antaranya Alexander
William Williamson dengan sintesis eter yang dilakukannya dan Christopher
Kelk Ingold yang menemukan mekanisme dari reaksi substitusi.